Jumat, 17 Mei 2013

Pembahasan Tentang KDRT Kriminologi !


PEMBAHASAN

Sepanjang tahun 2006 angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan dengan tahun 2005. Temuan ini tentu saja cukup mengejutkan, mengingat telah diratifikasikannya UU No 23 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan melaporkan hasil penelitian mereka tentang kondisi KDRT di Indonesia. Komnas perempuan mencatat jumlah sejak tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah itu meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada 2003, kasus meningkat 66% menjadi 7.787 kasus, lalu 2004 meningkat 56% (14.020) dan 2005 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada 2006 penambahan diperkirakan 70%. Mitra Perempuan mencatat perempuan yang mengalami kekerasan psikis menduduki urutan pertama kekerasan dalam rumah tangga. Urutan selanjutnya, perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 63,99 persen, perempuan yang ditelantarkan ekonominya sebanyak 63,69 persen, kekerasan seksual sebanyak 30,95 persen.
            Menurut Purnianti (Kriminolog UI dan anggota Mitra Perempuan) korban kekerasan yang mengalami kekerasan fisik, kemungkinan mengalami gangguan psikis. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa 9 dari 10 perempuan yang mengalami kekerasan fisik mengalami gangguan mental. Mitra Perempuan juga mengungkapkan, pelaku kekerasan dalam rumah   tangga itu sebagian besar dilakukan suami atau mantan suami, yakni mencapai 79,76 persen. Sedangkan 4,95 persen perempuan yang mengalami kekerasan adalah anak-anak di bawah umur atau 18 tahun ke bawah (Kompas, 26 Desember 2006). Hampir 52% pelaku adalah suami, 23% karena tekanan ekonomi, sisanya karena pertengkaran, pemabok dan pelaku narapidana. Rekomendasi yang diberikan Mitra perempuan antara lain adalah penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa KDRT bukanlah sekedar persoalan internal rumah tangga, tetapi adalah perilaku kriminal dan harus diadukan ke polisi. Selain itu perlu dilakukan pendidikan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan pendidikan itu difokuskan pada perempuan. Kasus Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan serius yang disebabkan oleh berbagai hal yang berkait erat satu sama lainnya. Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis (Mizan, 2004) berpendapat tentang akar masalah kekerasan terhadap perempuan.
            Pertama, ketimpangan gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap dan lebih hebat dari pada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah, kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan perempuan kerap tidak berdaya dihadapan laki-laki.
            Kedua, penegakan hukum yang lemah. Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun dalam praktiknya belum bisa menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. UU KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan karena kurang adanya sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
            Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarkhi. Konstruk budaya masyarakat melalui sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku secara alamiah dan didukung dengan penilaian agama dan hukum adat yang memberikan otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum laki-laki.

KESIMPULAN DAN SARAN

            Sekali lagi, kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan kompleks yang diakibatkan ketimpangan gender, hukum yang lemah dan budaya patriarkhi. Untuk mengatasinya butuh kesepakatan dan kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat, kaum intelektual, praktisi, akademisi, budayawan dan agamawan agar menempatkan kasus KDRT sebagai musuh bersama. Butuh kesepakatan bahwa kekerasan apa pun bentuknya, termasuk KDRT merupakan kejahatan hak asasi manusia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan.

            Semoga dalam momentum hari wanita internasional ini dapat memberikan penyadaran bagi kita bersama untuk selalu menyuarakan hak-hak kaum wanita tanpa memandang suku, agama, ras, dan aliran. Sudah saatnya mereka kita diberikan posisi yang setara, adil dan manusiawi sehingga mereka benar-benar bebas dari belenggu kekerasan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar